AKTIVATOR angkatan kita

HIMAGRO himpunan kita

AGRONOMI jurusan kita

Sabtu, 28 Desember 2013

PENINGKATAN EFISIENSI SISTEM PERTANIAN TERPADU DENGAN PENERAPAN SISTEM USAHA TANI TERINTEGRASI TANAMAN-TERNAK



PENINGKATAN EFISIENSI SISTEM PERTANIAN TERPADU DENGAN PENERAPAN SISTEM USAHA TANI TERINTEGRASI TANAMAN-TERNAK

M.Y.FADLY
G 111 11 029
ABSTRAK
Sistem usaha tani terintegrasi antara tanaman dan ternak telah lama dilakukan oleh rumah tangga petani di Indonesia, terutama di pedesaan. Umumnya rumah tangga petani menggunakan persediaan makanannya untuk mencukupi konsumsi sendiri dan selebihnya dijual. Karakteristik yang dijumpai pada petani tersebut adalah melakukan usaha tani campuran dalam upaya mendapatkan keuntungan yang maksimal dan meminimalkan risiko. Ada empat model penerapan sistem usaha tani campuran, yaitu: 1) sistem yang dipraktekkan secara alami dan turun-temurun oleh petani setempat, 2) sistem usaha tani tanpa melibatkan ternak, 3) sistem usaha tani ternak, dan 4) sistem usaha yang berbasis pada sumber daya lahan, tenaga kerja, dan modal. Masing-masing sistem usaha tani tersebut memiliki risiko dan ketidakpastian usaha di masa yang akan datang. Beberapa risiko mendasar pada sistem usaha tani adalah risiko produksi, risiko usaha dan finansial, serta risiko kerusakan. Dari risiko mendasar tersebut, dengan menggunakan perhitungan sistem fungsional, usaha tani terintegrasi tanaman-ternak mempunyai peluang risiko yang minimal.
Kata kunci: Usaha tani terintegrasi, sistem usaha, analisis risiko




















1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sistem pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga dapat dipanen secara seimbang. Pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang memakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya.Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai.

Bagi negara agraris seperti Indonesia, peran sektor pertanian sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai penyedia bahan pangan, sandang dan papan bagi segenap penduduk, serta penghasil komoditas ekspor nonmigas untuk menarik devisa. Lebih dari itu, mata pencaharian sebagian besar rakyat Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Namun ironis sekali, penghargaan masyarakat umum terhadap pertanian relatif rendah dibandingkan sektor lain, seperti industri, pertambangan, dan perdagangan. Dalam sistem integrasi tanaman-ternak, pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah ternak menjadi pupuk dan sumber energi alternatif merupakan potensi yang perlu dikembangkan. Inovasi teknologi pakan ternak dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah (SITT-BL) memberikan peluang yang menggembirakan menuju green and clean agricultural development. Pengembangan usaha tani tanaman dan ternak secara bersama-sama menambah pendapatan petani. Limbah tanaman pangan merupakan sumber daya pakan berserat yang potensial dan sesuai untuk sapi dan ternak ruminansia lainnya. Di banyak daerah, limbah tanaman pangan seperti jerami padi belum dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak. Petani cenderung membakarnya, yang berarti membuang bahan organik yang berpotensi menjadi pakan ternak. Meskipun manfaat yang begitu besar sebagian masyarakat belum bisa memanfaatkan system pertanian terpadu ini secara maksimal. Hal ini terjadi karena ada beberapa hal yang mempengaruhi diantaranya adalah biaya serta didukung kurangnya kesadaran masyarakat untuk menerapkan system ini.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugass final mata kuliah Sistem Pertanian Terpadu kelas B.




2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Usaha Tani Terintegrasi
 Gambaran keterkaitan antara tanaman dan ternak dalam kerangka usaha tani tradisional adalah pemanfaatan sumber daya lahan, tenaga kerja, dan modal secara optimal untuk menghasilkan produk seperti hijauan pakan ternak, tenaga ternak, dan padang penggembalaan, serta produk akhir seperti tanaman serat, tanaman pangan, dan daging. Namun demikian, vegetasi sebagai sumber hijauan, menurut Ginting (1991), sangat berfluktuasi baik produksi maupun komposisinya. Hal ini merupakan risiko dari usaha ternak dalam suatu sistem tanaman-ternak, sehingga diperlukan sinkronisasi atau sinergisme antara pola pemeliharaan ternak dan dinamika vegetasi agar dicapai sasaran yang optimal. Pada sistem seperti ini, tanaman menghasilkan hijauan pakan ternak untuk menghidupi ternak yang akan menghasilkan tenaga untuk pengolahan lahan (membajak), pupuk, dan daging. Hal serupa, menurut De Boer dan Welsch (1977), juga banyak dijumpai di negaranegara berkembang dengan pola dan tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarga petani melalui penyebaran risiko usaha dengan menganekaragamkan komponen usaha tani. Berdasarkan pengalaman empiris dan aplikasi model yang berlandaskan teori optimasi, integrasi ternak dalam usaha tani tanaman pangan, selain telah dilaksanakan dan dibuktikan keandalannya, memiliki beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain: 1) kondisi dan ketersediaan lahan, 2) jenis komoditas, 3) tenaga kerja, 4) kebutuhan konsumsi keluarga, 5) jenis dan jumlah ternak, 6) pastura dan hijauan pakan ternak, 7) peluang transaksi komoditas, serta 8) akses kepada sumber pendanaan (modal). Kallsen (2005) menyatakan, praktek eksploitasi dengan input yang berasal dari luar dan bersifat tidak berkelanjutan masih akan berlangsung hingga 50 tahun ke depan. Usaha tani terintegrasi tanaman-ternak dapat merupakan solusi dari ketergantungan pada input dari luar karena sifatnya yang saling mengisi. Karena usaha tani tanaman-ternak juga merupakan bagian dari pembangunan maka pemanfaatan sumber daya alam, termasuk dalam mengurangi risiko usaha, juga harus memiliki azas keberlanjutan.
Penerapan model integrasi tanaman ternak pada suatu kawasan yang memiliki potensi pengembangan usaha tani campuran harus mempertimbangkan paling sedikit empat skenario, yaitu: 1) skenario alami yang dilakukan atau dipraktekkan oleh petani setempat, 2) skenario sistem usaha tani tanpa ternak, 3) skenario sistem usaha tani dengan ternak, dan 4) skenario yang berbasis sumber daya (lahan, tenaga kerja, modal) dan peluang pengembangan kegiatan produktif, seperti tanaman, ternak, jasa buruh, transaksi nilai tambah antarkomoditas, dan sumber-sumber pendapatan lainnya (Levine dan Soedjana 1990).
2.2 Resiko Dan Ketidakpastian
 Masalah risiko dan ketidakpastian di bidang pertanian bukan merupakan hal baru, karena pada kenyataannya petani telah banyak mengambil keputusan yang berkaitan dengan risiko dan ketidakpastian. Yang dimaksud pengambilan keputusan dengan melibatkan faktor risiko atau ketidakpastian adalah bahwa petani tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Dalam pengambilan suatu keputusan terdapat banyak kemungkinan kejadian, bergantung pada faktor-faktor lain di luar kemampuan petani untuk mengontrolnya.
Istilah risiko lebih banyak digunakan dalam konteks pengambilan keputusan, karena risiko diartikan sebagai peluang akan terjadinya suatu kejadian buruk akibat suatu tindakan. Makin tinggi tingkat ketidakpastian suatu kejadian, makin tinggi pula risiko yang disebabkan oleh pengambilan keputusan itu. Dengan demikian, identifikasi sumber risiko sangat penting dalam proses pengambilan keputusan. Nelson et al. (1978) menyatakan, faktor risiko di bidang pertanian berasal dari produksi, harga dan pasar, usaha dan finansial, teknologi, kerusakan, sosial dan hukum, serta manusia. Risiko produksi terjadi karena variasi hasil akibat berbagai faktor yang sulit diduga, seperti cuaca, penyakit, hama, variasi genetik, dan waktu pelaksanaan kegiatan. Beberapa contoh adalah variasi hasil tanaman pangan, bobot sapi ternak, kualitas hasil, pertumbuhan ternak, daya tampung padang penggembalaan, tingkat kematian, dan kebutuhan tenaga kerja. Risiko harga dan pasar biasanya dikaitkan dengan keragaman dan ketidaktentuan harga yang diterima petani dan yang harus dibayarkan untuk input produksi. Jenis keragaman harga yang dapat diduga antara lain adalah trend harga, siklus harga, dan variasi harga berdasarkan musim. Tingkat harga dapat berpengaruh pada harapan pedagang, spekulasi, program pemerintah, dan permintaan konsumen.

cats.jpg
Gambar 1. Ketergantungan komponen usaha dalam suatu sistem usaha tani (McDowell dan Hildebrand 1980; Amir dan Knipscheer1989).
Risiko usaha dan finansial berkaitandengan pembiayaan dari usaha yangdijalankan, modal yang dipengaruhinya serta kewajiban kredit. Risiko usaha menjadi makin tinggi bila modal investasi atau pinjaman modal usaha menjadi lebih banyak. Pengeluaran untuk biaya tunai yang makin tinggi akan meningkatkan risiko tidak tersedianya uang tunai untuk membayar hutang dan kewajiban finansial lainnya. Adopsi cara baru, yang dikaitkan dengan risiko teknologi, berkaitan dengan perubahan yang tejadi setelah pengambilan keputusan dan akibat cepatnya kemajuan teknologi. Risiko faktor manusia berkaitan dengan perilaku, kesehatan, dan sifat-sifat seseorang yang tidak terduga sehingga dapat mengakibatkan risiko dalam usaha tani. Kehilangan pekerja utama pada saat keahliannya diperlukan dapat mempengaruhi tingkat produksi yang akan dicapai. Ketidakjujuran dan tidak dapat dipercayanya seseorang dapat pula mengakibatkan pelaksanaan usaha tani menjadi kurang efisien yang akhirnya menurunkan produksi. Risiko dan ketidakpastian menjadi masalah karena dapat menyebabkan sistem ekonomi menjadi kurang efisien. Sebagai contoh, karena meningkatnya ketidakpastian, petani tidak memberikan pupuk pada takaran yang dianjurkan, sehingga hasil yang dicapai rendah. Karena ketidakpastian, petani tidak mau meningkatkan skala usahanya untuk efisiensi tenaga kerja dan peralatan. Ketidakpastian juga berimplikasi pada tata laksana bagi petani. Oleh karena itu diperlukan beberapa pendekatan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan risiko, yaitu: 1) melakukan analisis terhadap keputusan yang akan diambil dari berbagai pilihan yang tersedia, kemungkinan kejadiannya, serta manfaatnya bila keputusan itu harus ditentukan, 2) memperkirakan peluang yang akan terjadi dengan tingkat manfaat yang akan diperoleh, dan 3) mempertimbangkan perilaku, kemampuan, dan tujuan pengambil keputusan berkaitan dengan tingkat risiko yang harus dihadapi karena keputusan yang telah diambil.
2.3 Skala Usaha Tani
 Skala usaha dalam suatu sistem usaha tani dapat diukur dengan berbagai cara, antara lain dari investasi, biaya tetap, biaya variabel, total nilai penjualan, luas areal tanam, dan jumlah satuan ternak. Perhitungan biaya setiap luasan areal tanam atau satuan ternak dapat dilakukan untuk melihat perbedaan efisiensi di antara petani yang mengusahakan komoditas serupa. Pendekatan titik impas dapat digunakan untuk menentukan skala usaha. Secara umum, karena adanya respons petani terhadap tingkat risiko usaha yang dihadapi, maka skala usaha dapat dilihat dari keuntungan yang diperoleh dengan cara menjabarkan berbagai prasyarat teknis maupun ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap keuntungan tersebut. Untuk itu, skala usaha dapat dilihat dari pendekatan titik impas. Fungsi keuntungan (TT) dapat memperlihatkan hubungan tersebut dan masing-masing variabelnya dapat dijabarkan lebih jauh untuk melihat prasyarat teknis maupun ekonomi sebagai berikut :


TT = TR – TC
      = TR (VC + F)
      = Py.Y – Px.X – F
Py  = harga produk yang diproduksi
Y   = fungsi produksi, f(Y)
Px        = harga masing-masing input (Xi)
X         = input yang digunakan
F          = biaya tetap
Py.Y    = total penerimaan (TR)
Px.X+F = total biaya (TC)


Dengan menggunakan pendekatan fungsi keuntungan, skala usaha dapat dilihat dengan cara menentukan titik impas produksi maupun harga. Titik impas ditentukan pada kondisi di mana TT = 0, atau pada saat TR = TC. Variasi perubahan harga input maupun harga produk akan menunjukkan berapa besar produksi harus dilakukan untuk mencapai keuntungan. Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan grafik maupun perhitungan langsung dengan formula, melalui penentuan jumlah unit yang diproduksi (Y), harga jual per unit (Py), serta biaya tetap (F) dan biaya tidak tetap (VC). Titik impas dapat juga dihitung dengan menggunakan: 1) formula pendapatan, TI = F / (VC/P), dan 2) formula langsung, TI = F / (P – VC). Misalnya, suatu usaha tani memerlukan biaya tetap untuk memproduksi suatu komoditas sebesar Rp500 dan setiap unit produk memerlukan biaya variabel Rp1, serta harga jual produk tersebut di pasaran Rp2/ unit. Titik impas akan diperoleh pada kondisi TR = TC, yaitu Py.Y = Px.X + F, sehingga 2 Y = 1 Y + 500 atau Y = 500 unit. Dengan menggunakan formula pendapatan, yaitu TI = F / (VC/P), di mana TI = 500 / (1/2) = 1.000, titik impas diperoleh pada tingkat pendapatan Rp1.000 atau pada saat produksi (Y) mencapai 1.000/2 = 500 unit. Jika menggunakan formula langsung, TI = F/(PVC) diperoleh tingkat produksi (Y) sebesar 500/(21) = 500 unit. Variasi tingkat keuntungan, volume produksi, dan persentase perubahannya dapat dilakukan melalui analisis kepekaan (sensitivity analyses) pada berbagai tingkat yang dikehendaki, sehingga dapat diketahui skala produksi yang dikehendaki serta berbagai konsekuensinya. Usaha tani terpadu tanaman dan ternak akan berhasil bila mempertimbangkan aspek keberlanjutan, ramah lingkungan, serta secara sosial dan politis dapat diterima masyarakat. Oleh karena itu, penerapan sistem ini akan bervariasi pada setiap wilayah, bergantung pada kondisi geografis, ekologis, dan sosial ekonomi masyarakat setempat dalam hal jenis ternak, sistem budi daya, perkandangan, maupun komponen teknologi lainnya (Diwyanto et al. 2002).
2.4 Distribusi Peluang
 Peluang adalah suatu angka yang menunjukkan kemungkinan atau peluang bahwa suatu kejadian akan terjadi. Suatu kejadian merupakan peristiwa yang dapat terjadi di masa mendatang di luar pengetahuan kita. Angka yang menunjukkan peluang bervariasi dari 0 sampai 1. Angka 0 berarti tidak ada peluang sama sekali suatu kejadian akan terjadi, sedangkan angka 1 berarti sangat mungkin untuk terjadi. Selain itu, penjumlahan dari angka-angka peluang tersebut menunjukkan suatu situasi dan berjumlah 1. Ada tiga jenis peluang berdasarkan cara pengukurannya atau cara menurunkannya, yaitu secara empiris, deduktif, dan subjektif. Peluang yang diperoleh secara empiris didasarkan pada frekuensi observasi empiris. Pengelompokan observasi dapat dilakukan melalui pembentukan interval untuk digunakan dalam pendugaan peluang atau frekuensi dari beberapa kejadian. Peluang yang diperoleh secara empiris dari data historis sangat berguna dalam manajemen, tetapi kurang berguna untuk hal lain. Peluang yang diperoleh secara deduktif dilakukan dengan cara deduksi dengan mengasumsikan peluang kejadian adalah acak. Namun demikian, umumnya fenomena yang dipertimbangkan tidak selalu mengikuti atau mengacu kepada deduksi logis. Peluang yang diperoleh secara subjektif mengukur keyakinan seorang pengambil keputusan tentang kemungkinan terjadinya suatu kejadian di masa mendatang. Dalam pengukuran peluang seperti ini, diasumsikan bahwa pengambil keputusan menguji pengalamannya sendiri melalui data yang tersedia untuk merangkum seluruh kejadian. Peluang yang diperoleh secara subjektif dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: 1) menggunakan pendekatan distribusi kumulatif, 2) menggunakan conviction weights atau pendugaan tertimbang, dan 3) estimasi secara langsung. Ketiga cara tersebut harus dihitung dari distribusi peluang yang sama. Cara lain untuk mengestimasi distribusi peluang subjektif adalah melalui distribusi trianguler, yang memiliki keleluasaan dalam bentuk distribusi.


3. KESIMPULAN
1.             Tujuan suatu rumah tangga petani dalam menjalankan usaha tani adalah untuk memaksimalkan keuntungan atau untuk keamanan dengan cara meminimalkan risiko, termasuk keinginan untuk memiliki persediaan pangan yang cukup untuk konsumsi rumah tangga dan selebihnya untuk dijual. Apabila pilihan terakhir ini dijumpai pada rumah tangga petani, maka karakteristik yang umum dijumpai adalah setiap petani selalu melakukan usaha tani campuran, terlepas dari luas pemilikan lahan, lokasi, atau kepadatan penduduk. Hal ini menunjukkan konsistensi dari keduatujuan berusaha tani, yaitu memaksimalkan keuntungan atau meminimalkan risiko. Alasan tersebut sebenarnya telah tercakup dalam keinginan untuk memaksimalkan penerimaan dan meminimalkan risiko, serta keinginan mengambil manfaat dari usaha tani campuran yang memiliki dasar rasional yang jelas.

2.             Istilah risiko lebih banyak digunakan dalam konteks pengambilan keputusan, karena risiko diartikan sebagai peluang akan terjadinya suatu kejadian buruk yang disebabkan oleh suatu tindakan. Makin tinggi tingkat ketidakpastian suatu kejadian, makin tinggi risiko akibat pengambilan keputusan tersebut. Dengan demikian, identifikasi sumber risiko sangat penting dalam proses pengambilan keputusan.



























DAFTAR PUSTAKA
Amir, P. and H.C. Knipscheer. 1989. Conducting on farm animal research: Procedures and economic analysis. Winrock International, Morrilton, Arkansas.

De Boer, A.J. and D.E. Welsch. 1977. Constraints on cattle and buffalo production in a Northern Thai Village. In R.D. Stevens (Ed). Tradition and Dynamics in Small-Farm Agriculture, Economic Studies in Asia, Africa and Latin America. The Iowa State University Press, Ames.

Diwyanto, K., B.R. Prawiradiputra, dan D. Lubis. 2002. Integrasi tanaman-ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa, Buletin Ilmu Peternakan Indonesia 12(1): 1−8.

Kallsen, C. 2005. What is sustainable agriculture and how we do it? Better Crops 89(1): 22− 23.

Levine, J.M. and T.D. Soedjana. 1990. Methodology for establishing selection criteria, marketing, and production aspects for sheep and goats in Indonesia and the ASEAN region. In L.C. Iniguez and M.D. Sanchez (Eds). Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production System. Proceedings of a Workshop on Research Methodologies, Medan, 9−14 September 1990.

McDowell, R.E. and P.E. Hildebrand. 1980. Integrated Crop and Animal Production: Making the most of resources available to small farmers in developing countries. Rockefeller Foundation, New York. p. 21

Nelson A.G., G.L. Casler, and O.L. Walker. 1978. Making Farm Decision in a Risky World:  guide book. South Eastern Agricultural Extension, USDA, Oregon State-Cornell-Oklahoma State Universities.

ads

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 22.11 Kategori:

Tidak ada komentar: